REVITALISASI CERITA DAN KISAH BAGI SI KECIL
Muhammad Muntahibun Nafis*
Setiap pendidikan di manapun berada sudah pasti
memiliki tujuan yang hendak dicapai. Tujuan itu dirancang sedemikian rupa oleh
lembaga atau pengelola pendidikan dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan
prinsip yang universal. Proses memanusiakan manusia ini akan dapat mencapai
tujuan yang dimaksudkan manakala disusun dan dituangkan dalam sebuah kurikulum
pendidikan yang sistematis dan terstruktur. Namun demikian, sebaik apapun
kurikulum yang sudah diancang, namun pendidik tidak mampu memilih metode yang tepat
untuk mentrasfer materi-materi dalam kurikulum tersebut, maka akan dapat
berakibat kurang baik bahkan akan fatal. Materi tidak akan dapat tersampaikan
dengan baik, karena peserta didik tidak mampu menangkap dan memahami materi
yang telah disampaikan oleh pendidik. Dalam kondisi seperti ini, pendidik
merupakan faktor penentu dalam keberhasilan sebuah pendidikan. Pendidik
dituntut mampu menggunakan metode yang tepat, dengan selalu memperhatikan
berbagai faktor. Di antara faktor yang harus diperhatikan yaitu: psikologi
(baik psikologi belajar maupun psikologi perkembangan) peserta didik, sosial
(yaitu tempat di mana proses pendidikan dan pembelajaran tersebut berlangsung),
dan situasi dan kondisi yang melingkupinya.
Indonesia pada saat ini mengalami berbagai
kejadian dan multi krisis, di antaranya merupakan salah satu negara yang
terkenal dengan kasus-kasus korupsi. Berbagai label dan nominasi sebagai negara
terkorup telah sering disandangnya. Berbagai usaha yang dilakukan banyak fihak
tak luput juga pemerintah ternyata belum menunjukkan hasil yang memuaskan,
bahkan mengalami peningkatan dan menuju pada eskalasi yang akut dan
membahayakan. Korupsi telah menjadi “urat nadi” bangsa ini, yang telah menyatu
dengan darah yang mengalir pada seluruh anggot tubuh yang bernama Indonesia.
Penyakit ini sudah kronis dan akut, seakan sangat sulit untuk diberantas. Salah
satu yang bisa dilakukan untuk meminimalisirnya adalah dengan melalui sarana
pendidikan dan pembelajaran. Dengan pendidikan diharapakan akan mampu
menjadikan jiwa-jiwa manusia yang arif, kuat dan berkarakter.
Menilik dunia pendidikan di tanah air, maka
dapatlah dinyatakan bahwa peserta didik dan anak-anak bangsa di negeri ini
telah kering oleh sosok-sosok “bapak” atau “pendidik” yang bisa untuk dijadikan
suritauladan bagi kehidupan mereka kelak. Memang banyak “pendidik” atau “bapak”
yang mampu memberikan nasihat (mauidhoh hasanah), namun terasa sulit
untuk mencari benar-benar yang bisa jadi panutan (uswah hasanah).
Kondisi yang kurang baik ini –ketika dihubungkan denga dunia pendidikan- dipengaruhi
oleh minimnya anak atau peserta didik untuk mampu menjadi dirinya sendiri,
dengan memiliki karakternya sendiri. Dalam arti bahwa pendidikan pada saat ini
kurang memberi ruang gerak dan situasi kondisi yang bisa menjadikan dirinya
untuk memiliki karakter dengan dicontohkan berbagai karakter dari para “idola,
tokoh, pemimpin” yang telah sukses dalam memimpin dan menjalani dunianya.
Jelasnya bahwa peserta didik sangat minim disodori dengan kisah-kisah atau
cerita-cerita para tokoh, misalnya cerita akan pribadi dan sifat-sifat rosul,
para sahabat, pahlawan, sosok sukses, maupun yang lainnya.
Peserta didik dan anak-anak setiap harinya hanya
disuguhi oleh “idola-idola” dalam film dan kartun, yang hampir kesemuanya
merupakan sosok yang kurang bisa memberikan contoh karakter manusia yang baik.
Malah sebaliknya mereka sipertontonkan dengan sifat-sifat cengeng, pemalas,
suka membohongi dan “ngerjain” orang lain, suka berperang, memakai jalan pintas
untuk menuju dan memperoleh keinginan-keinginannya, dan masih banyak
sifat-sifat yang lainnya. Ketika kondisi ini setiap hari secara terus menerus
terjadi, maka hal ini telah menjadi proses pembelajaran dan pendidikan bagi
anak dan peserta didik. Sehingga pada ahhirnya akan mempengaruhi cara berfikir,
bertindak, bahkan cara hidupnya kelak di kemudian hari.
Mengamati beberapa kurikulum pendidikan pada
jenjang usia dini, sekaran ini belum banyak (untuk tidak mengatakan tidak ada
sama sekali) sekolah atau lembaga pendidikan yang menjadikan cerita dan kisah
sebagai sarana yang tepat dalam penanaman nilai-nilai dan prinsip-prinsip
ke-Islaman. Cerita dan kisah dianggap hanya sebagai teman menjelang tidur atau
alat untuk menina-bobokkan anak. Kurikulum pendidikan Islam jarang menjadikan
kisah teladan rasulullah mulai masa kanak-kanak samapai dewasa bahkan menjelang
meninggal sebagai salah satu kurikulm wajib bagi anak-anak. Sementara ini
teladan rosul hanya sekedar masuk dalam mata pelajaran Sejarah Nabi atau
Sejarah Peradaban/Kebudayaan Islam. Belum lagi teladan dan sifat-sifat utama
para sahabat yang begitu membanggakan dan luar biasa. Ketika peserta didik
jarang dikenalkan dengan kisah dan cerita tersebut, hampir pasti mereka akan
tidak kenal sama sekali dengan pejuang-pejuang agamanya di masa lalu. Bahkan
mereka akan lebih mengenal dan mencintai tokoh idola mereka dalam film dan
kartun, yang setiap hari akan dipraktekkan dan ditiru semua gaya dan tingkah
lakunya. Maka dari itu, sudah waktunya pendidikan melalui kurikulumnya
meletakkan cerita dan kisah sebagai konten maupun cara dalam penanaman nilai
kepada peserta didik. Paling tidak dengan adanya rutinitas cerita dan kisah baik yang dibaca, dilihat, dan didengar
peserta didik, akan mampu mengimbangi derasnya film, kartun, dan sarana lain yang
dapat berakumulasi menjadi sebuah mindset dalam diri setiap anak atau
peserta didik.
Banyak hal yang bisa dilakukan baik oleh orang
tua, pendidik, maupun lembaga pendidikan dalam menjadikan cerita dan kisah
sebagai salah satu materi penting bagi anak dan peserta didik. Di antara yang
bisa dilakukan adalah memberikan ruang dan tempat khusus bagi anak seperti
perpustakaan mini untuk bisa membaca berbagai koleksi buku cerita dan kisah
dari berbagai macam literatur baik yang berupa cetakan maupun yang yang
berbasis IT. Selain itu khususnya bagi orang tua di rumah bisa selalu menemani
anak dalam belajar, dan di antara salah satu materinya adalah cerita dan kisah.
Semoga setiap orang tua, pengelola pendidikan, pemerintah, dan seluruh
pemerhati serta pecinta masa depan anak yang lebih ceria dan lebih cerah, akan
menjadi sadar akan arti penting sebuah cerita dan kisah. Dan lebih besar lagi
akan mampu meminimalisir terjadinya korupsi di negeri ini juga berbagai krisis
multidimensi dengan adanya sosok, tokoh, idola, yang baru, namun tetap
bercermin dari sosok, tokoh, idola yang lama yang “hebat” pada masa dulu. Amin
* Penulis adalah pemerhati pendidikan dan Staf Pengajar pada STAIN
Tulungagung (email:
aby_najwa@yahoo.co.id/muntahibunnafis@gmail.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar