Kamis, 24 Oktober 2013

MEMAKNAI SEMANGAT SUMPAH PEMUDA



MEMAKNAI SEMANGAT SUMPAH PEMUDA
Muhammad Muntahibun Nafis

Generasi muda memang merupakan tulang punggung masyarakat pada sebuah negeri. Merakalah nantinya yang akan menjadi penerus perjuangan yang telah dilakukan generasi tua selama ini. Peran penting pemuda ini yang pada akhirnya mengharuskan para pemuda untuk mampu dan mau mengemban berbagai tugas dan tanggungjawab yang tidak ringan. Untuk mampu melaksanakan tugas tersebut, pemuda diharapkan memiliki berbagai ketrampilan dan kompetensi pada dirinya. Hal ini memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, yang begitu saja bisa terwujud. Dalam kondisi jiwa pemuda yang masih labil dan terkadang tidak memperdulikan pertimbangan-pertimbangan, pemuda harus mampu mengisi dirinya dengan pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan.
Pada masa kemerdekaan, pemuda telah meletakkan dasar-dasar perjuangan untuk mampu mengeluarkan negeri ini dari berbagai penjajahan yang telah mengoyak-ngoyak nilai kemanusian. Dengan semangatnya yang besar, para pemuda berusaha menjadi pelopor masyarakat untuk bergerak menuju kemerdekaan negeri ini. Pemuda telah menjadi pengikat semangat seluruh negeri agar mempunyai “greget” untuk bergerak dan keluar dari ikatan kolonialisme penjajah. Pemuda pada saat itu telah menyuarakan suara hati masyarakat negeri, agar semua bisa menikmati hidup di negeri yang indah ini dengan “kemerdekaan” tanpa adanya keterpaksaan. Para pemuda telah sadar bahwa manjadi “budak” di negeri sendiri merupakan hal yang menyakitkan dan memilkan.
Keseriusan para pemuda pada saat penjajahan itu, menjadi bukti akan adanya “kekritisian” yang luar biasa. Kekritisan pemuda tersebut tidak hanya sekedar kebetulan bisa terwujud, namun telah dimulai dengan berbagai keseriusan-keseriusan sebelumnya. Pemuda berusaha menjadikan dirinya seseorang yang memiliki kemampuan, sense, dan keberanian untuk “berteriak” ketika terjadi ketimpangan dan ketidak sesuaian yang melanda masyarakat. Keberanian untuk meneriakkan suara-suara perjuangan inilah yang menjadi salah satu modal utama bagi pemuda tatkala itu. Namun demikian, keberanian para pemuda ketika itu tidak hanya sekedar berani, namun memang didasari dengan nilai-nilai universal yang menjadi kekuatan besar pada jiwa pemuda. Terdapat sebuah pernyataan yang menarik yaitu:”banyak orang gagal dalam hidupnya bukan karena tidak punya modal/dana/biaya, namun kurangnya semangat dalam dirinya”. Semangat inilah yang menjadi kunci keberhasilan perjuangan pada masa dahulu, sehingga musuh sekuat apapun bisa ditaklukkan walau tanpa senjata yang lengkap. Bambu runcing, “janur”, ketapel dan sebagainya menjadi sebuah simbol sederhana akan semangat perjuangan yang luar biasa dari masyarakat Indonesia kala itu.
Dalam Islam, eksistensi pemuda dalam membangun masyarakat yang berkeadaban menjadi perhatian besar dan serius. Karena memang pemuda memiliki andil besar dalam konstruksi masyarakat, melalui berbagai aktifitas dan bidang yang beraneka ragam. Salah satu adagium yang sering dikobarkan misalnya, “sesungguhnya di tangan para pemuda urusan umat, dan di telapak kakinya kehidupan umat tersebut”. Ungkapan tersebut memberikan makna bahwa pemuda memang memegang kendali permasalahan masyarakat, dan dapat dikatakan bahwa baik buruknya masyarakat akan sangat dipengaruhi oleh baik buruknya pemudanya. Pemuda yang kokoh, bermoral, berwawasan luas, memiliki skill an kompetensi akan mampu membawa pada kemajuan masyarakat. Sebaliknya pemuda yang amoral, berwawasan sempit, ekslusif, statis malah akan menjadikan masyarakat yang terbelakang dan tidak mampu berkompetisi di era globalisasi seperti sekarang ini.
Sedikit menoleh ke belakang pada masa sejarah perkembangan Islam pada masa rosulullah, betapa peran pemuda ketika itu sangat menentukan bahkan menjadi kunci keberhasilan dakwah rosul. Ali ibn Abi Tholib maju dan berperan menjadi ujung tombak perjuangan melawan kaum kafir quraisy. Keberaniannya menggantikan posisi tidur rosul ketika itu menjadi bukti betapa semangat, keberanian, kejujuran dan ketaatan pemuda kepada rosul baik selaku pimpinan agama, maupun pimpinan pemerintahan telah menumbuhkan hasil peradaban yang gemilang. Semangat seperti Ali ibn Abi Tholib inilah yang perlu dikobarkan lagi pada sanubari pemuda saat ini, sehingga akan tercipta generasi yang tangguh, yang akan membawa masyarakat pada kemajuan dan perkembangan sekaligus pembangunan negara dan agama. Tugas seperti ini menjadi tanggungjawab semua elemen masyarakat, sehingga beban akan terasa ringan dan akan lebih mampu menciptakan generasi yang kreatif, dinamis, inklusif, dan religius.
Yang semestinya dilakukan pada saat sekarang ini untuk menyiapkan generasi-generasi seperti Ali ibn Abi Tholib di antaranya: (1) memberi ruang dan waktu kepada generasi muda untuk mengeksplore segala minat, kemampuan, dan potensi masing-masing, (2) memberi kesempatan kepada kaum muda untuk ikut berperan aktif dalam pembangunan masyarakat dari berbagai aspek yang ada, (3) kaum tua atau para senior terus memberikan arahan dan bimbingan sebagai kontrol terhadap ‘sepak terjang” kaum muda, (4) memberikan banyak stimulus semisal reword (hadiah) kepada generasi yang berprestasi, (5) perlunya kebijakan –kebijakan pemerintah yang mendukung secara penuh kiprah pemuda dalam masyarakat, (6) sinergisasi antara pemuda dan lingkungan sekitarnya, dalam arti adanya lingkungan yang kondusif untuk menunjang penciptaan pemuda yang kompetetitif.
Menilik semangat pemuda kala perjuangan dulu, yang klimaksnya terwujud dalam sumpah pemuda, sebenarnya hal itu berpondasikan ajaran agama. Upaya penyatuan secara nasional (ukhuwwah wathaniyah) terejawentahkan dalam berbagai bait-bait sumpah tersebut. Agama juga memberikan ruang dalam ajarannya untuk mencintai dan mentaati pemerintah dan pemimpinnya dengan berbagai upaya menciptakan pemerintahan dan pemimpin yang layak untuk semuanya. Hal ini mengajarkan kepada semua pihak pada saat ini untuk mulai memikirkan upaya regenerasi kepemimpinan sebagaimana yang telah dilakukan rasulullah kepada Ali ibn Abu Thalib saat itu.
Tentu tulisan ini jauh dari kesempurnaan, namun semoga bisa menjadi inspirasi untuk dapat dikembangkan lebih luas lagi. Semoga bermanfaat.         

Rabu, 16 Oktober 2013

1 JAM MENENTUKAN MASA DEPAN SI BUAH HATI



1 JAM MENENTUKAN MASA DEPAN SI BUAH HATI
Muhammad Muntahibun Nafis, M.Ag*


Pendidikan akan berhasil secara optimal manakala dilaksanakan dan dimulai sejak anak masih usia dini, bahkan sejak anak masih dalam kandungan. Lebih jauh lagi perhatian akan pendidikan sudah dimulai sebelum pasangan suami istri melangsungkan pernikahan. Pendidikan dilaksanakan dengan harapan akan terciptanya sosok manusia yang memiliki kepribadian yang baik bahkan unggul. Dan untuk membentuk kepribadian manusia, ada tiga faktor yang fundamental yang perlu diperhatikan oleh setiap orang tua. Pertama, qabla al wiladah (sebelum melahirkan). Di sini nantinya memberikan tuntunan akan urgensi selektifitas kriteria calon suami maupun istri. Anak nantinya akan memiliki kepribadian yang utama tatkala didasari oleh kedua orang tua yang berkepribadian yang baik pula. Pepatah jawa menyebutkan “kacang ora adoh songko lanjarane”, dengan arti anak tidak akan jauh berbeda dari orang tuanya. Ungkapan senada diungkapkan oleh orang Belanda dengan ungkapan “buah apel tidak akan jatuh jauh dari pohonnya”.
Kedua, ma’a al-ghoirihi (bersama orang lain). Seseorang nantinya diharapkan memiliki kepribadian yang baik dengan penyokong utamanya adalah orang lain, yang nantinya bisa berbentuk sekolah, lembaga, organisasi, perkumpulan, maupun paguyuban yang di situ nantinya seseorang bisa mengembangkan dan mengeksplorasi diri dan potensinya bersama orang lain. Dengan bergaul, bersosialisasi, seseorang dimungkinkan akan bisa berkepribadian baik. Ketiga, bi al-nafsihi (dengan dirinya sendiri). Satu hal penting yang mempengaruhi seseorang berakhlak mulia adalah dari dirinya sendiri. Seseorang bisa menggali potensi, mempertajam karakter, maupun mengolah “fitrah”nya dengan usahanya sendiri. Melalui membaca (outodidak), bertadabbur, tafakkur, dan meditasi, seseorang sangat dimungkinkan bisa “menjadi baik”.
Dari ketiga hal tersebut, nantinya akan mempunyai implikasi besar dalam pembentukan dan pengembangan “kurikulum” (dalam arti yang luas) di sekolah, di rumah, bahkan di masyarakat. Bagi sekolah, beberapa wujud nyata yang bisa dilakukan misalnya (poin pertama) hubungan dan jalinan yang baik antara sekolah dengan wali dan orangtua peserta didik, sehingga dapat dibentuk komite dan paguyuban wali peserta didik. Bagi orangtua bisa memberikan saran, masukan, kritikan yang konstruktif kepada sekolah sebagai salah satu kontrol dan balancing proses pembelajaran putra-putrinya. Bagi sekolah bisa menyampaikan banyak hal seperti program dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi kepada orangtua peserta didik, sebagai upaya sosialisasi dan problem solving dalam proses belajar mengajar bersama peserta didik. (poin kedua) Sekolah bisa menciptakan situasi dan lingkungan pendidikan dan pembelajaran yang kondusif bagi proses pendidikan. Sekolah dengan tanpa diskriminasi berusaha menciptakan interaksi antar peserta didik, sehingga tidak disadari akan memberikan pembiasaan-pembiasaan bersosial yang harmonis. Secara otomatis, peserta didik akan mempelajari bagaimana berbagi dengan sesama, menghormati pendapat yang berbeda, toleransi, merasakan kesedihan teman, bersuka ria bersama, memegangi prinsip, tolong-menolong dan banyak hal lain yang itu nantinya akan banyak diperlukan bagi masa depannya.
(poin ketiga) Sekolah akan memberikan sarana prasarana, fasilitas, maupun media dan alat pendidikan yang diperlukan selama proses belajar peserta didik. Misalnya adanya laboratorium mata pelajaran yang memadahi, perpustakaan sekolah yang lengkap dan media/alat parktikum-praktikum lainnya. Selain itu, sekolah juga memberikan waktu yang tersistematis kepada peserta didik untuk bisa memfasilitasi berbagai pengalaman spiritual perserta didiknya.
Dari tiga faktor tersebut, yang perlu diperhatikan oleh tiap orangtua adalah perhatian yang cukup dan optimal bagi putra-putrinya. Betapapun hebat dan baiknya sekolah dalam memberikan pendidikan, namun tidak didukung oleh peran serta dan kontrol keluarga atau orangtua, maka pendidikan anak tidak akan optimal. Pada realitas masyarakat, tidak sedikit orang tua yang tidak memperhatikan pendidikan anaknya, anak hanya diserahkan sepenuhnya kepada pembantu maupun pesuruhnya. Jarang anak sewaktu pulang sekolah ditanya, “nak, tadi disekolah belajar apa?, bermain apa?, mengerjakan apa? dan lain sebagainya. Belum lagi manakala anak waktu belajar, orangtua jarang mendampingi dan menemaninya. Ketika anak belajar kemudian menemukan kesulitan, atau timbul pertanyaan, seharusnya ia bertanya kepada seseorang yang di sampingnya, sehingga ia menemukan jawaban yang tepat. Namun manakala anak tidak didampingi, maka pertanyaan-pertanyaan yang segera membutuhkan jawaban tersebut, akan tidak menemukan jawaban yang tepat dan akan terus menumpuk sehingga pengetahuan dan wawasan anak akan tidak maksimal.
Perhatian orangtua kepada anaknya seperti memberikan waktunya walau satu jam saja, akan memberikan sesuatu yang berarti baik sacara mental maupun pemikiran anak. Satu jam akan menentukan masa depan anak. Anak akan lebih merasa dihargai, punya kemampuan, percaya diri dan punya komitmen yang kuat manakala sering didampingi orangtuanya. Karena orangtua akan sering memunculkan kata-kata: “wah nak, kamu pinter, kamu bisa, ayo kerjakan dengan tepat, itu betul, itu tepat”, dan sebagainya walaupun sebenarnya anak belum bisa dan mampu secara benar. Sebaliknya anak akan menjadi minder dan pesimis ketika jarang ada ungkapan yang “gunggung”, memuji, mensupport dirinya. Apabila kondisi tersebut -baik yang didampingi maupun tidak, terus menerus berkelanjutan sampai anak tumbuh dewasa, maka akan mempengaruhi pola hidup dan pola pikir anak ke depannya. Potensi yang dibawa anak (qabla al-wiladah), akan tereksplor dengan baik setelah dia mampu bersosialisasi dan bergaul dengan orang lain (ma’a al-ghairihi), dan dikuatkan dengan pengembangan potensi melalui proses “perenungan, pembacaan” dirinya sendiri (bi al-nasihi). Keluarga adalah basic value bagi anak, untuk kehidupannya kelak.

*Penulis adalah staf pengajar pada STAIN Tulungagung, dan tulisan ini dipresentasikan pada on air di radio LIUR FM Tulungagung pada hari kamis tanggal 06 Januari 2010
             

Selasa, 08 Oktober 2013

TAHUN BARU; REURGENSITAS SEJARAH BAGI KEHIDUPAN



TAHUN BARU; REURGENSITAS SEJARAH BAGI KEHIDUPAN
Muhammad Muntahibun Nafis*

Selamat jalan tahun 2010 yang penuh kenangan, selamat datang tahun baru 2011. Gegap gempita, sorak sorai, pekikan tiupan terompet, dan gemerlap cahaya kembang api telah ikut memeriahkan pergantian tahun masehi. Hampir seluruh manusia di penjuru dunia merayakan pergantian tahun, tak pelak lagi di tanah air bahkan di desa-desa di pelosok wilayah negeri. Kegembiraan menyelimuti setiap jiwa, yang seolah-olah akan kedatangan rejeki yang dapat membuat hati dan diri manusia senang. Seluruh perayaan yang dilakukan merupakan serangkaian luapan kegembiraan yang terkadang keluar dari dimensi esensi tahun baru iu sendiri.
Tahun baru pada dasarnya merupakan moment yang tepat bagi setiap jiwa untuk mau dan mampu berproses menuju yang lebih baik. Setiap manusia pastinya mengalami perkembangan dan “evolusi” diri dan jiwanya menuju peningkatan kualitas maupun kuantitas “kedewasaan”. Evolusi di sini dimaksudkan adanya perubahan yang signifikan dalam diri tiap manusia, baik dari sisi fisiologis dan biologisnya, maupun psikologisnya. Sisi-sisi manusia ini masing-masing akan berproses bersamaan kondisi dan situasi yang menyelimutinya. Kompleksitas dunia dan kehidupan akan ikut serta berpengaruh dalam membentuk makhluk yang bernama manusia. Sebagai contoh riilnya yaitu bahwa fisik manusia tentunya tidak akan terlepas dengan kondisi sosial budaya bahkan situasi musim dan kondisi geografis di mana ia berada. Sifat manusiapun juga bisa dipengaruhi oleh sistem yang berjalan di masyarakat dan alam sekitarnya. Dari sinilah bahwa keseharian perjalanan hidup manusia akan selalu bekaitan erat dengan hari-harinya ia bergaul dengan kehidupan di sekitarnya.
Uforia tahun baru merupakan salah satu fenomena sosial budaya masyarakat yang menarik untuk diamati dan dielaborasi lebih lanjut. Banyak nilai-nilai sosial bahkan religius yang terkandung pada moment tahun baru. Dari segi sosial misalnya bahwa dalam mindset kebanyakan masyarakat sekarang ini telah mengalami “kekaburan” esensi perayaan tahun baru. Masyarakat hanya memandang dan menilai unsur luar dari tahun baru yakni kegembiraan sesaat ketika pada waktu pergantian malam tahun baru tersebut. Detik dan jam bahkan hari ketika tepatnya pergantian itu merupakan moment yang ditunggu-tunggu sebagai sebuah sejarah yang harus dibarengi dengan kegembiraan, senang-senang, perayaan (seperti menip terompet, kembang api dan lain sebagainya) sebagai bukti ungkapan kegembiraan tersbut. Dalam kondisi seperti inilah sebenarnya terjadi “kekaburan” makna dalam paradigma masyarakat tentang tahun baru. Namun demikian, di sisi lain, beberapa bagian masyarakat memetik keuntungan yang tidak sedikit dari adanya malam tahun baru. Banyak uang diperoleh seperti penjualan terompet, kembang api, jagung, dan makanan-makanan lain seperti buah-buahan dan ikan laut yang dihidangkan menyertai pergantian malam tahun baru.
Salah satu esensi penting yang terkandung dalam tahun baru adalah nilai sejarah. Setiap manusia disadari atau tidak telah mengalami proses dan perkembangan dirinya, namun ktika itu juga telah mengalami proses dan perkembangan sejarahnya. Manusia setiap detik, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun telah menggoreskan sejarahnya sendiri. Tiap harinya ia telah membikin dan menuliskan sejarahnya pada lembaran kehidupannya. Langkah, tingkah laku dan bahkan pemikirannya merupakan obyek sejarah yang telah ia lakukan. Ia sendiri telah menjadi subyek sejarah. Dalam berbagai literatur tentang sejarah dinyatakan, bahwa sejarah memiliki dua konsep di antaranya adalah sejarah tersusun dari serangkaian peristiwa masa lampau dan keseluruhan pengalaman manusia. Sedangkan obyek kajian dalam sejarah adalah seluruh pengalaman manusia baik yang difikirkan, dikatakan, dirasakan, dan sialami,maupun fakta tentang apa, siapa, kapan, di mana, dan bagaimana sesuatu itu terjadi.
Dari keterangan di atas, dapat dinyatakan bahwa masyarakat sekarang pada umumnya telah melupakan sisi sejarahnya sendiri. Seluruh pengalaman yang selama ini ia goreskan tak pernah lagi ia tengok ulang, bahkan dianalisa lebih lanjut guna proses sejarah di tahun yang akan datang menuju sejarah yang lebih gemilang. Seharusnya setiap insan manakala merasa gembira dengan pergantian tahun, hal itu merupakan bukti kegembiraan bahwa sejarah yang selama ini ia torehkan merupakan sejarah yang membahagiakan bagi kehidupannya kelak. Kegembiraannya tidak hanya berada di dataran luarnya saja (perayaan gemerlap malam tahun baru), namun juga dataran jiwa dan hatinya (ibadah dan amalan-amalan agama). Ketika manusia menyadari akan pentingnya sejarah gemilang yang harus ia bikin sendiri, maka hari-harinya akan selalu diisi dengan pengalaman yang dapat menjadikannya lebih punya arti baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain di sekitarnya.
Di antara urgensi sejarah bagi manusia yaitu bahwa sejarah akan dijadikan pelajaran berharga dan suri tauladan, sejarah akan menjadi sarana memahami kehdupan dan kematian, sejarah akan menjadi sarana untuk kelestarin identitas kelompok, dan sejarah akan menjadi pedoman manusia baik untuk masa sekarang dan juga masa yang akan datang.
Semoga seluruh masyarakat mau menyadari pentingnya memahami dan menciptakan, menorehkan sejarahnya sendiri dengan tinta emas, sehingga akan selalu dikenang samapai ahir zaman walaupun dia telah meninggalkan alam dunia ini. Moment tahun baru menjadi sangat penting bagi setiap insan untuk memahami dan menganalisa sejarah yang telah digoreskan pada tahun-tahun sebelumnya. Apakah selama ini ia telah menuju yang labih baik, atau sebaliknya masih banyak hal-hal yang kurang. Tahun baru, semangat baru, sejarah baru, sejarah yang tertuliskan dengan tinta emas menuju peradaban manusia yang lebih baik.
* Penulis adalah pengajar Sejarah Peradaban Islam pada STAIN Tulungagung             

Minggu, 06 Oktober 2013

REVITALISASI CERITA DAN KISAH BAGI SI KECIL



REVITALISASI CERITA DAN KISAH BAGI SI KECIL
Muhammad Muntahibun Nafis*

Setiap pendidikan di manapun berada sudah pasti memiliki tujuan yang hendak dicapai. Tujuan itu dirancang sedemikian rupa oleh lembaga atau pengelola pendidikan dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan prinsip yang universal. Proses memanusiakan manusia ini akan dapat mencapai tujuan yang dimaksudkan manakala disusun dan dituangkan dalam sebuah kurikulum pendidikan yang sistematis dan terstruktur. Namun demikian, sebaik apapun kurikulum yang sudah diancang, namun pendidik tidak mampu memilih metode yang tepat untuk mentrasfer materi-materi dalam kurikulum tersebut, maka akan dapat berakibat kurang baik bahkan akan fatal. Materi tidak akan dapat tersampaikan dengan baik, karena peserta didik tidak mampu menangkap dan memahami materi yang telah disampaikan oleh pendidik. Dalam kondisi seperti ini, pendidik merupakan faktor penentu dalam keberhasilan sebuah pendidikan. Pendidik dituntut mampu menggunakan metode yang tepat, dengan selalu memperhatikan berbagai faktor. Di antara faktor yang harus diperhatikan yaitu: psikologi (baik psikologi belajar maupun psikologi perkembangan) peserta didik, sosial (yaitu tempat di mana proses pendidikan dan pembelajaran tersebut berlangsung), dan situasi dan kondisi yang melingkupinya.
Indonesia pada saat ini mengalami berbagai kejadian dan multi krisis, di antaranya merupakan salah satu negara yang terkenal dengan kasus-kasus korupsi. Berbagai label dan nominasi sebagai negara terkorup telah sering disandangnya. Berbagai usaha yang dilakukan banyak fihak tak luput juga pemerintah ternyata belum menunjukkan hasil yang memuaskan, bahkan mengalami peningkatan dan menuju pada eskalasi yang akut dan membahayakan. Korupsi telah menjadi “urat nadi” bangsa ini, yang telah menyatu dengan darah yang mengalir pada seluruh anggot tubuh yang bernama Indonesia. Penyakit ini sudah kronis dan akut, seakan sangat sulit untuk diberantas. Salah satu yang bisa dilakukan untuk meminimalisirnya adalah dengan melalui sarana pendidikan dan pembelajaran. Dengan pendidikan diharapakan akan mampu menjadikan jiwa-jiwa manusia yang arif, kuat dan berkarakter.
Menilik dunia pendidikan di tanah air, maka dapatlah dinyatakan bahwa peserta didik dan anak-anak bangsa di negeri ini telah kering oleh sosok-sosok “bapak” atau “pendidik” yang bisa untuk dijadikan suritauladan bagi kehidupan mereka kelak. Memang banyak “pendidik” atau “bapak” yang mampu memberikan nasihat (mauidhoh hasanah), namun terasa sulit untuk mencari benar-benar yang bisa jadi panutan (uswah hasanah). Kondisi yang kurang baik ini –ketika dihubungkan denga dunia pendidikan- dipengaruhi oleh minimnya anak atau peserta didik untuk mampu menjadi dirinya sendiri, dengan memiliki karakternya sendiri. Dalam arti bahwa pendidikan pada saat ini kurang memberi ruang gerak dan situasi kondisi yang bisa menjadikan dirinya untuk memiliki karakter dengan dicontohkan berbagai karakter dari para “idola, tokoh, pemimpin” yang telah sukses dalam memimpin dan menjalani dunianya. Jelasnya bahwa peserta didik sangat minim disodori dengan kisah-kisah atau cerita-cerita para tokoh, misalnya cerita akan pribadi dan sifat-sifat rosul, para sahabat, pahlawan, sosok sukses, maupun yang lainnya.
Peserta didik dan anak-anak setiap harinya hanya disuguhi oleh “idola-idola” dalam film dan kartun, yang hampir kesemuanya merupakan sosok yang kurang bisa memberikan contoh karakter manusia yang baik. Malah sebaliknya mereka sipertontonkan dengan sifat-sifat cengeng, pemalas, suka membohongi dan “ngerjain” orang lain, suka berperang, memakai jalan pintas untuk menuju dan memperoleh keinginan-keinginannya, dan masih banyak sifat-sifat yang lainnya. Ketika kondisi ini setiap hari secara terus menerus terjadi, maka hal ini telah menjadi proses pembelajaran dan pendidikan bagi anak dan peserta didik. Sehingga pada ahhirnya akan mempengaruhi cara berfikir, bertindak, bahkan cara hidupnya kelak di kemudian hari.
Mengamati beberapa kurikulum pendidikan pada jenjang usia dini, sekaran ini belum banyak (untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali) sekolah atau lembaga pendidikan yang menjadikan cerita dan kisah sebagai sarana yang tepat dalam penanaman nilai-nilai dan prinsip-prinsip ke-Islaman. Cerita dan kisah dianggap hanya sebagai teman menjelang tidur atau alat untuk menina-bobokkan anak. Kurikulum pendidikan Islam jarang menjadikan kisah teladan rasulullah mulai masa kanak-kanak samapai dewasa bahkan menjelang meninggal sebagai salah satu kurikulm wajib bagi anak-anak. Sementara ini teladan rosul hanya sekedar masuk dalam mata pelajaran Sejarah Nabi atau Sejarah Peradaban/Kebudayaan Islam. Belum lagi teladan dan sifat-sifat utama para sahabat yang begitu membanggakan dan luar biasa. Ketika peserta didik jarang dikenalkan dengan kisah dan cerita tersebut, hampir pasti mereka akan tidak kenal sama sekali dengan pejuang-pejuang agamanya di masa lalu. Bahkan mereka akan lebih mengenal dan mencintai tokoh idola mereka dalam film dan kartun, yang setiap hari akan dipraktekkan dan ditiru semua gaya dan tingkah lakunya. Maka dari itu, sudah waktunya pendidikan melalui kurikulumnya meletakkan cerita dan kisah sebagai konten maupun cara dalam penanaman nilai kepada peserta didik. Paling tidak dengan adanya rutinitas cerita dan  kisah baik yang dibaca, dilihat, dan didengar peserta didik, akan mampu mengimbangi derasnya film, kartun, dan sarana lain yang dapat berakumulasi menjadi sebuah mindset dalam diri setiap anak atau peserta didik.
Banyak hal yang bisa dilakukan baik oleh orang tua, pendidik, maupun lembaga pendidikan dalam menjadikan cerita dan kisah sebagai salah satu materi penting bagi anak dan peserta didik. Di antara yang bisa dilakukan adalah memberikan ruang dan tempat khusus bagi anak seperti perpustakaan mini untuk bisa membaca berbagai koleksi buku cerita dan kisah dari berbagai macam literatur baik yang berupa cetakan maupun yang yang berbasis IT. Selain itu khususnya bagi orang tua di rumah bisa selalu menemani anak dalam belajar, dan di antara salah satu materinya adalah cerita dan kisah. Semoga setiap orang tua, pengelola pendidikan, pemerintah, dan seluruh pemerhati serta pecinta masa depan anak yang lebih ceria dan lebih cerah, akan menjadi sadar akan arti penting sebuah cerita dan kisah. Dan lebih besar lagi akan mampu meminimalisir terjadinya korupsi di negeri ini juga berbagai krisis multidimensi dengan adanya sosok, tokoh, idola, yang baru, namun tetap bercermin dari sosok, tokoh, idola yang lama yang “hebat” pada masa dulu. Amin    

* Penulis adalah pemerhati pendidikan dan Staf Pengajar pada STAIN Tulungagung  (email: aby_najwa@yahoo.co.id/muntahibunnafis@gmail.com)