Rabu, 27 November 2013

GAGAP BACA TULIS QURAN (BTQ), GAK GAUL MENNN.....!!!



Kampus STAIN Tulungagung merupakan lembaga pendidikan di bawah naungaun Kementerian Agama, yaitu di bawah Dirjen DIKTIS. Tentu sebagai lembaga pendidikan Islam, maka menjadi sebuah keniscayaan bahwa seluruh civitas akademikanya menerapkan nilai-nilai keIslaman yang ada. Salah satu kompetensi yang musti dikembangkan adalah penguasaan baca tulis al-qur’an. Menjadi hal yang ironis manakala mahasiswa, dosen, karyawan dan civitas yang lain, yang masuk pada civitas STAIN tidak menguasai bahkan gagap akan  BTQ.  
Setelah beberapa tahun mengikuti proses belajar mengajar di kampus tercinta ini, fenomena umum yang ditemukan adalah adanya banyak mahasiswa STAIN yang tidak dengan baik menguasai baca tulis al-qur’an. Padahal BTQ seharusnya merupakan salah satu pembeda mahasiswa STAIN dengan yang lain. Sebagai nilai lebih mahasiswa STAIN adalah penguasaan BTQ.  Dengan penguasaan BTQ, berarti menjadi bukti akan keseriusan dan bukti keimanan seseorang. AL-quran merupakan dasar mutlak dalam menjalankan seluruh ajaran Islam.  Bagaimana seseorang mengamalkan sebuah ajaran agama manakala tak berdasar, bahkan tidak tau dasar pokoknya. Menjadi keprihatinan bersama manakala mahasiswa alumnus STAIN gagap akan BTQ.
Pada dasarnya kampus sudah memberikan tahapan-tahapan dalam mengajarkan BTQ tersebut. Kampus telah berupaya untuk memaksimalkan kemampuan mahasiswa dalam BTQ tersebut. Tahapan awal misalnya dimulai ketika rekrutmen mahasiswa baru. Salah satu mata ujian yang ada adalah BTQ. Memang input mahasiswa STAIN sangatlah beragam, yakni dari berbagai backroud sekolah sebelumnya. Tidak semua mahasiswa berasal dari Madrasah ataupun pesantren, ataupun mahasiswa yang pernah mengenyam pendidikan agama pada berbagai majelis ta’lim. Untuk mewujudkan mahasiswa yang menguasai BTQ, pada proses selanjutnya adalah adanya mata praktikum BTQ, dengan buku panduan yang sudah dicetak dan dibagikan kepada mahasiswa pada semester pertama.
Namun demikian, ternyata berjalannya mata praktikum tersebut belum bisa mencapai target yang maksimal. Penyebab ketidakmaksimalan tersebut tidak hanya dari sistem yang kurang efektif, namun yang lebih penting adalah dari antusisme mahasiswa yang kurang. Bahkan banyak mahasiswa yang cenderung “menjauhi” mata praktikum tersebut dengan alasan non SKS atau tidak ada nilainya. Pada tahapan selanjutnya, kampus terus melaksanakan efektifitas BTQ tersebut, misalnya ketika ujian komprehensif dan ujian skripsi. Semua upaya tersebut ternyata belum membuahkan hasil maksimal sebagaimana yang ditargetkan.
Beberapa saran dan rekomendasi yang dapat penulis sampaikan di antaranya adalah:
1.       Memaksimalkan proses rekrutmen mahasiswa baru, dengan memberikan seleksi yang ketat.
2.       Memaksimalkan mata praktikum BTQ dengan mengintegrasikan pada sistem perkuliahan. Misalnya saja kelulusan BTQ menjadi syarat untuk pengajuan judul skripsi, syarat ujian skripsi atau syarat PPL dan KKN
3.       Mengelompokkan mahasiswa baru dalam kelas praktikum BTQ sesuai kemampuan masing-masing. Sehingga akan dapat dikontrol mana-mana mahsiswa yang sudah mampu dan yang belum mampu.
4.       Memaksimalkan peran wali studi dari dosen, dengan memberikan perhatian besar kepada mahasiswa yang dibimbingnya terkait penguasaan BTQ tersebut.
5.       Menciptakan lingkungan yang mendukung akan berkembangnya dan “menjamurnya kecintaan kepada al-qur’an, misalnya dengan ada bulan cinta quran, 1 hari satu ayat, dan yang lainnya.
6.       Sering mengadakan iven atau perlombaan yang terkait dengan al-qur’an.
7.       Perhatian kampus ataupun pimpinan kampus, ditunjang oleh seluruh dosen untuk terus mengkontrol mahasiswa terkait dengan BTQ tersebut.
8.       Diadakan sema’an al-quran secara rutin.
9.       Memaksimalkan fungsi majsid kampus dalam berbagai kegiatan-kegiatan yang positif.
Pada saat ini, berbagai upaya dari kampus sudah dilakukan, misalnya saja degan memberikan reward kepada hafidz/hafidzah. Dan upaya ini harus didukung oleh semua pihak agar dapat tercapai rencana yang disusun. Berbagai upaya ini harus terus dikawal oleh semua civitas, dan yang terpenting oleh para mahasiswa. Gejala umum mahasiswa yang tidak bisa BTQ tersebut harus segera diupayakan diminimalisir sedini mungkin, sehingga STAIN betul-betul menjadi kampus unggulan, yang diminati masyarakat dan mampu mencetak generasi yang unggul yang mampu berkompetisi di manapun dan kapan pun berada. Semoga cita-cita besar ini mampu diwujudkan bersama.

Kamis, 14 November 2013

“PLAGIARISME” MASUK KURIKULUM



“PLAGIARISME” MASUK KURIKULUM
HM.Muntahibun Nafis
Semalem ketika mengikuti sesi pertama pada Konsultasi Pengelola Jurnal Ilmiah Nasional Dirjen Diktis Kemenag RI dengan narasumber Prof. Ali Saukah (dari UM), saya sangat terkesan dengan ungkapan: “plagiatisasi harus masuk kurikulum”. Selama ini memang karya ilmiah dalam bentuk apapun dan dalam keilmuan apapun menjadi salah satu unsur penting dalam civitas akademik khusunya Perguruan Tinggi (PT). Karya ilmiah seperti jurnal menjadi hal mutlak yang tak dapat dipisahkan lag dari urat nadi kampus dan seluruh civitas di dalamnya. Bahakan secara ekstrem, kampus dapat dinilai dari kualitas jurnal yang dikembangkannya. Baik buruknya kampus sangat dipengaruhi oleh baik buruknya jurnal yang dikelolanya.
Dengan begitu urgennya jurnal bagi kampus, maka pemerintah yang dalam hal ini Kemedikbud maupun Kemenag bahkan beberapa kementerian yang lain seperti Kemenpan juga ikut serta dalam mengurusi “perjurnalan” tersebut. Berbagai peraturan dan undang-undang telah disusun guna menjaga bahkan mengembangkan dan memajukan jurnal tersebut. Sebagai salah satu bukti nyata kepedulian pemerintah tersebut adalah adanya aturan bahwa untuk kenaikan pangkat seorang PNS seperti guru dan dosen harus menyertakan jurnal ilmiahnya. Sehingga guru dan dosen (utamanya) benar-benar dituntut untuk kreatif dan cerdas agar mampu menghasilkan karya ilmiah (tulisan) yang dimuat di jurnal.
Salah satu aturan pemerintah yang mengatur persoalan jurnal ialah Permendiknas No 22/2011 tentang Terbitan Berkala. Dalam peraturan tersebut disebutkan beberapa tujuan penerbitan jurnal, di antaranya: (1) meregristasi kegiatan kecendikiaan, (2) menyertifikasi hasil kegiatan yang menjadi prasyarat ilmiah, (3) mendeseminasikannya secara meluas, dan beberapa tujuan yang lain. Namun pada dasarnya, tujuan utama penerbitan jurnal adalah bagaimana seorang guru dan dosen ikut serta dalam kontribusi pengembangan keilmuan dan pengetahuan. Sehingga pada akhirnya dengan adanya jurnal tersebut pemerintah memberi penghargaan bagi si-penulis, yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk kredit poin.  
Begitu pentingnya peran jurnal dalam dunia pendidikan menjadikan seorang pendidik perlu meresponnya dengan baik. Sedikit menengok ke belakang dalam sejarah peradaban masa kejayaan Islam, maka di sana banyak ditemukan karya-karya monumental para tokoh (dalam bidangnya masing-masing) yang kemudian memberikan sumbangsig besar dalam kemajuan peradaban tersebut. Sehingga dengan adanya banyak karya dan tulisan tersebut akan memberikan banyak manfaat tidak hanya untuk masa penulis itu saja, namun juga masa depan yang jauh. Karena sesuatu yang tertulis akan mudah disimpan, dibaca kembali dan dipelajari kembali. Pada perkembangannya, karya tulis yang kemudian dimuat dalam sebuah jurnal, ternyata tidak lepas dari pasang-surut masalah yang dihadapinya, dan salah satu masalah serius yang dihadapi adalah merebaknya plagiatisasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.
Plagiarisme atau sering disebut plagiat adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri. Plagiat dapat dianggap sebagai tindak pidana karena mencuri hak cipta orang lain (http://id.wikipedia.org/wiki/Plagiarisme). Inilah sebenarnya yang dihawatirkan banyak kalangan agar tidak banyak merebak khususnya di PT. Sehingga pemerintah benar-benar memberikan sanksi berat pagi seseorang yang melakukan plagiat.
Untuk mengantisipasi dan meminimalisir plagiasi, maka yang bisa dimulai oleh seorang pendidik adalah memasukkan materi/bab plagiarisme tersebut dalam kurikulum. Kurikulum yang dimaksudkan disini bukanlah kurikulum tertulis, dalam arti bahwa materi plagiarisme menjadi sebuah mata kuliah tersendiri, namun yang dimaksudkan adalah menyelipkan materi tersebut dalam seluruh proses pembelajaran di kelas, seperti ketika menjelaskan sebuah materi tertentu. Jadi dosen bisa memberikan pesan-pesan aturan, bahaya atau akibat, dan tidak baiknya melakukan plagiarisme. Proses ini dapatlahdilakukan dosen sejak dini, misalnya saja dimulai ketika penyusunan makalah. Jadi mahasiswa diajari bagaimana menuliskan karya ilmiah yang baik dan benar, tidak harus melalui mata kuliah karya tulis ilmiah dan benar.
Pada saat ini, jurnal mulai merambah pada dunia online, dengan maksud bahwa jurnal tidak hanya yang berbentuk print out paper secara manual. Dan kondisi seperti ini memang sudah menjadi perkembangan dan kemajuan perjurnalan, tidak hanya sekala nasional namun juga internasional. Dan lagi-lagi ini yang harus direspon dengan baik oleh pendidik, dengan menyiapkan diri dalam penguasaan berbagai kompetensi dan ketrampilan yang dibutuhkan. Sehingga nantinya tidak ada lagi istilah Gaptek (gagap teknologi) bagi pendidik dan terlebih lagi kampus (pengelola jurnal). Semoga dengan masukknya materi plagiarisme dalam kurikulum ini akan dapat meminimalisir bahkan menghilangkan terjadinya plagiarisme di negeri tercinta ini. Sehingga ilmu dan pengetahuan akan semakin berkembang dan maju dengan baik.      

Senin, 11 November 2013

IT bagi Guru; Antara Biaya dan Upaya



IT bagi Guru; Antara Biaya dan Upaya
HM. Muntahibun Nafis

Derap langkah kaki kemajuan dan perkembangan dunia ini semakin cepat. Manusia disuguhkan dengan berbagai pilihan “menu” kehidupan yang beranekaragam. Keanekaragaman tersebut tidak jarang membingungkan dan bahkan dalam kondisi tertentu malah menjadikan manusia kehilangan martabatnya. Hal tersebut dikarenakan manusia tidak mampu menempatkan dirinya menjadi subjek dari kemajuan tersebut. Manusia terkadang menjadi obyek dari kemajuan. Misalnya saja ketika manusia dihadapkan oleh kemajuan modernisasi seperti kemajuan Informasi dan teknologi (IT), manusia tidak mampu menjadikan IT sebagai sarana yang bisa bermanfaat bagi kehidupannya, manusia malah merusak martabat dan kehidupannya. Contohnya ketika IT malah menjadi perusak ekosistem dan merusak moral generasi penerus.
Pendidikan sebagai salah satu segi kehidupan manusia yang mampu membangun peradaban yang lebih baik memiliki peran penting yang tidak bisa dikesampingkan. Melalui pendidikan diharapkan manusia mampu menjadi “khalifah” di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya. Sebagai seorang khalifah, tentu yang menjadi perhatian yaitu bagaimana ia bisa menempatkan dirinya sebagai uswah hasanah bahkan menjadi pioneer terdepan. Sehingga tatanan masyarakat mampu tertata dengan kondusif sebagaiaman situasi dan kondisi masing-masing. Ketika membahas pandidikan, maka gurulah yang memiliki peran penting proses memanusiakan manusia tersebut. Guru pemegang kunci akan keberhasilan proses membangun peradaban yang dimaksudkan.
Seiring perkembangan zaman sekarang ini yang mengalir begitu deras, tentu hal itu harus direspon positif oleh para pendidik. Respon tersebut salah satunya adalah dengan penguasaan IT sebagai salah satu kompetensi yang harus dipenuhinya. IT harus sudah include dalam diri pendidik, sehingga pembelajaran yang berlangsung akan lebih dinamis. Selama ini, IT menjadi salah satu momok menakutkan bagi beberapa pendidik, karena dianggap membutuhkan banyak biaya, banyak latihan dan tenaga ekstra untuk menguasainya. Padahal, ketika IT sudah menjadi salah satu kompetensi dan ketrampilan pendidik, maka proses pembelajaran akan lebih efektif dan efisien. Pendidik akan lebih dimudahakan untuk mencapai target dan tujuan pendidikan yang sudah direncanakan.
Dalam pembelajaran, seorang pendidik dituntut menguasai berbagai ketrampilan mendesain materi yang diajarkan. Desain pembelajaran ini memiliki peran penting bagi peserta didik untuk memahami dan menguasai materi yang diajarkan oleh pendidik. Sehingga pendidik yang kreatif dan inovatif dalam mendesain sebuah materi, akan mampu memaksimalkan rancangan pembelajaran yang sudah dibuat. Dengan desain yang baik, peserta didik tidak akan pernah mengalami kebosanan, ngantuk, dan ramai sendiri di kelas. Ibarat sebuah menu makanan, maka ketika menu tersebut disajikan dengan bentuk yang menarik, menjadikan orang yang akan mengkonsumsinya pun akan tertarik dan bahkan siap menyantapnya dengan lahap.
Desain materi membutuhkan kecerdasan dan kecermatan dari pendidik. Satu hal yang bisa diupayakan adalah dengan memanfaatkan IT dalam proses pembelajarannya. Banyak kemudahan yang ditawarkan untuk dapat dipergunakan. Penggunaan IT dalam proses pembelajaran tidak banyak membutuhkan biaya, namun yang dibutuhkan adalah upaya, semangat dan kemauan dari pendidik. Pendidik membutuhkan sedikit waktunya untuk mau menyusun dan merancang pembelajaran yang ada. Hal inilah yang sebenarnya pada saat sekarang ini harus direspon oleh dunia pendidikan, khususnya oleh para pendidik. Bagi pemerintah, yang bisa dilakukan adalah dengan berbagai keberpihakan dalam kebijakan dan aturan yang disusun.  

Senin, 04 November 2013

“JAGONG KAJI” (Fenomena Sosial di balik Ritual Haji)



“JAGONG KAJI”
(Fenomena Sosial di balik Ritual Haji)
Masyarakat Indonesia pada bulan, minggu, atau hari-hari ini diharu-birukan oleh adanya berbagai perayaan sebagaimana yang selama ini sering dijumpai. Perayaan itu merupakan ungkapan rasa syukur dari seorang manusia atas nikmat yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Salah satu perayaan itu adalah tasyakuran haji, yaitu adanya saudara, kerabat, dan tetangga yang baru saja sukses menunaikan salah satu rukun Islam yang kelima yakni Ibadah haji. Ibadah haji merupakan satu ibadah yang memiliki tempat tersendiri, karena untuk bisa melaksanakannya harus memalui berbagai perjuangan baik fisik, materi, waktu dan yang lain. Sebagaimana contoh perjuangan itu adalah betapa besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh seseorang untuk bisa menunaikannya. Pun pula tenaga, fisik, atau badan yang harus benar-benar fit untuk bisa menunaikan berbagai ritual haji yang memang membutuhkan tenaga ekstra. Berbagai rintangan seperti teriknya matahari yang menyengat, desak-desakan dengan jamaah haji yang lain, dan juga terkadang membutuhkan perjalanan yang panjang.
Selain perjuangan tersebut, seseorang yang akan melaksanakan haji khususnya di Indonesia dan terlebih lagi jawa, harus menunggu antrian yang begitu lama sampai belasan tahun. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan seorang yang akan berhaji betul-betul membutuhkan ekstra dalam segala hal. Dengan latarbelakang kondisi haji tersebut, akhirnya menjadikan ibadah haji menjadi ibadah yang “spesial” bagi yang mampu melaksanakannya. Seseorang yang mampu melaksanakannya dengan baik merasa benar-benar telah mendapatkan anugerah yang luar biasa. Bahkan merasa telah menjadi muslim yang sempurna, karena rukun Islam yang terakhir telah sukses ia capai dengan sempurna. Pada beberapa kasus dapat dinyatakan banyak orang yang harus sampai menjual harta miliknya demi mencapai cita-cita mulia tersebut.
Beberapa akibat dari betapa dahsyatnya haji bagi seorang muslim di antaranya melekatnya gelar yang disandang seseorang yang telah selesai melaksanakan ibadah tersebut. Gelar seperti ini bisa dinyatakan hanya banyak ditemui di Indonesia dan sekitarnya. Gelar “haji” menjadi sebuah prestise tinggi bahkan mampu meningkatkan derajat dan status sosial. Penghormatan yang lebih diberikanmasyarakat kepada seseorang yang sudah haji. Namun demikian memang “kesucian” haji ini terkadang tidak diimbangi dengan tingginya moral dan kesalehan yang empunya gelar tersebut. Dan inilah sebenarnya yang dilupakan oleh beberapa orang, sehingga haji hanya sekedar menjadi ritual keagamaan tanpa ada makna dan hikmat kemanfaatan bagi yang melaksanakannya.
Mengamati kondisi perayaan tasyakuran haji, sebenarnya terdapat hal menarik yang dapat diungkapkan dan diamati bersama. Seseorang yang haji dengan rela harus merogoh kocek yang luar biasa banyaknya. Nominal yang besar dan tidak tanggung-tanggung lagi untuk dapat menyelenggarakan tasyakuran tersebut. Walaupun memang kondisi tersebut sesuai dengan kemampuan masing-masing, namun fenomena tersebut dapat dijadikan bahan pemikiran ulang untuk semua pihak. Dapat dihitung berapa dana yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan hajinya, biaya keberangkatan haji yang tidak jarang melalui proses tasyakuran walimatul safar, belum lagi yang paling banyak adalah biaya setelah haji. “oleh-oleh” (souvenir) yang harus disediakan baik untuk keluarga, saudara, tetangga, teman kantor, teman kerja, dan orang-orang yang datang tuk “jagong kaji” (zaiarah haji).
Menilik sedikit kondisi jamaah ketika berada di Saudi Arabia (meliputi Makkah, Madinah, Jeddah dan kota-kota lain), menjadi sebuah kebiasaan (dan yang dihawatirkan sampai pada dataran keharusan/kewajiabn) untuk membelikan berbagai pernak-pernik haji. Keadaan seperti ini dalam tahap kewajaran, namun ketika amalan-amalan “sunnah” (penulis menganggap tasyakuran tersebut memang ada nilai positifnya sehingga masuk kategori sunnah) mengabaikan bahkan mengesampingkan amalan-amalan wajib dari berbagai rukun dan syarat haji. Seseorang disibukkan untuk menyiapkan “oleh-oleh” haji daripada fokus beribadah semaksimal mungkin. Semoga kebiasaan yang dapat dikategorikan “sunnah” tersebut tidak mengalahkan urgensi dan inti pokok ibadah wajib hajinya. Semoga menjadi haji yang mabrur..