Kampus
STAIN Tulungagung merupakan lembaga pendidikan di bawah naungaun Kementerian
Agama, yaitu di bawah Dirjen DIKTIS. Tentu sebagai lembaga pendidikan Islam,
maka menjadi sebuah keniscayaan bahwa seluruh civitas akademikanya menerapkan
nilai-nilai keIslaman yang ada. Salah satu kompetensi yang musti dikembangkan
adalah penguasaan baca tulis al-qur’an. Menjadi hal yang ironis manakala
mahasiswa, dosen, karyawan dan civitas yang lain, yang masuk pada civitas STAIN
tidak menguasai bahkan gagap akan BTQ.
Setelah
beberapa tahun mengikuti proses belajar mengajar di kampus tercinta ini,
fenomena umum yang ditemukan adalah adanya banyak mahasiswa STAIN yang tidak
dengan baik menguasai baca tulis al-qur’an. Padahal BTQ seharusnya merupakan
salah satu pembeda mahasiswa STAIN dengan yang lain. Sebagai nilai lebih
mahasiswa STAIN adalah penguasaan BTQ. Dengan
penguasaan BTQ, berarti menjadi bukti akan keseriusan dan bukti keimanan
seseorang. AL-quran merupakan dasar mutlak dalam menjalankan seluruh ajaran
Islam. Bagaimana seseorang mengamalkan
sebuah ajaran agama manakala tak berdasar, bahkan tidak tau dasar pokoknya.
Menjadi keprihatinan bersama manakala mahasiswa alumnus STAIN gagap akan BTQ.
Pada
dasarnya kampus sudah memberikan tahapan-tahapan dalam mengajarkan BTQ
tersebut. Kampus telah berupaya untuk memaksimalkan kemampuan mahasiswa dalam
BTQ tersebut. Tahapan awal misalnya dimulai ketika rekrutmen mahasiswa baru.
Salah satu mata ujian yang ada adalah BTQ. Memang input mahasiswa STAIN
sangatlah beragam, yakni dari berbagai backroud sekolah sebelumnya. Tidak semua
mahasiswa berasal dari Madrasah ataupun pesantren, ataupun mahasiswa yang
pernah mengenyam pendidikan agama pada berbagai majelis ta’lim. Untuk
mewujudkan mahasiswa yang menguasai BTQ, pada proses selanjutnya adalah adanya
mata praktikum BTQ, dengan buku panduan yang sudah dicetak dan dibagikan kepada
mahasiswa pada semester pertama.
Namun
demikian, ternyata berjalannya mata praktikum tersebut belum bisa mencapai
target yang maksimal. Penyebab ketidakmaksimalan tersebut tidak hanya dari
sistem yang kurang efektif, namun yang lebih penting adalah dari antusisme
mahasiswa yang kurang. Bahkan banyak mahasiswa yang cenderung “menjauhi” mata
praktikum tersebut dengan alasan non SKS atau tidak ada nilainya. Pada tahapan
selanjutnya, kampus terus melaksanakan efektifitas BTQ tersebut, misalnya
ketika ujian komprehensif dan ujian skripsi. Semua upaya tersebut ternyata
belum membuahkan hasil maksimal sebagaimana yang ditargetkan.
Beberapa
saran dan rekomendasi yang dapat penulis sampaikan di antaranya adalah:
1.
Memaksimalkan proses
rekrutmen mahasiswa baru, dengan memberikan seleksi yang ketat.
2.
Memaksimalkan mata
praktikum BTQ dengan mengintegrasikan pada sistem perkuliahan. Misalnya saja
kelulusan BTQ menjadi syarat untuk pengajuan judul skripsi, syarat ujian
skripsi atau syarat PPL dan KKN
3.
Mengelompokkan mahasiswa
baru dalam kelas praktikum BTQ sesuai kemampuan masing-masing. Sehingga akan
dapat dikontrol mana-mana mahsiswa yang sudah mampu dan yang belum mampu.
4.
Memaksimalkan peran wali
studi dari dosen, dengan memberikan perhatian besar kepada mahasiswa yang
dibimbingnya terkait penguasaan BTQ tersebut.
5.
Menciptakan lingkungan yang
mendukung akan berkembangnya dan “menjamurnya kecintaan kepada al-qur’an,
misalnya dengan ada bulan cinta quran, 1 hari satu ayat, dan yang lainnya.
6.
Sering mengadakan iven atau
perlombaan yang terkait dengan al-qur’an.
7.
Perhatian kampus ataupun pimpinan
kampus, ditunjang oleh seluruh dosen untuk terus mengkontrol mahasiswa terkait
dengan BTQ tersebut.
8.
Diadakan sema’an al-quran
secara rutin.
9.
Memaksimalkan fungsi majsid
kampus dalam berbagai kegiatan-kegiatan yang positif.
Pada saat ini, berbagai upaya dari kampus sudah
dilakukan, misalnya saja degan memberikan reward kepada hafidz/hafidzah. Dan
upaya ini harus didukung oleh semua pihak agar dapat tercapai rencana yang
disusun. Berbagai upaya ini harus terus dikawal oleh semua civitas, dan yang
terpenting oleh para mahasiswa. Gejala umum mahasiswa yang tidak bisa BTQ tersebut
harus segera diupayakan diminimalisir sedini mungkin, sehingga STAIN
betul-betul menjadi kampus unggulan, yang diminati masyarakat dan mampu
mencetak generasi yang unggul yang mampu berkompetisi di manapun dan kapan pun
berada. Semoga cita-cita besar ini mampu diwujudkan bersama.