Pada Jumat di masjid
Yarralumla Canberra kali ini sang khotib mengutib beberapa ayat tentang
beberapa ciri surga yang nanti disiapkan Allah untuk hamba-hambanya yang
beriman dan baik. Salah satu ciri tersebut adalah bahwa luas surga itu
seluas langit dan bumi ini. Dapat dibayangkan betapa luasnya surga
nanti. Bumi saja tidak semua bisa kita jelajahi luasnya dari ujung
sampai ujung dan itu belum cukup menggambarkan luasnya surga karena
masih ditambah luasnya langit. Memang
ini bukan tema yang dibahas oleh sang khotib. Yang ingin saya ambil
manfaat dari kutipan khotib tersebut adalah dengan mengkontekskan
kondisi masyarakat Indonesia khususnya umat Islam saat ini. Betapa telah
terjadi "penyempitan" makna surga kalau mengamati maraknya dan mudahnya
seseorang mengkafirkan orang lain yang berbeda pandangan, aliran,
madzhab apalagi beda agama. Sesat-menyesatkan, "syaikhul bid'ah (gurunya
ahli bid'ah), halal darahnya, neraka, serta masih banyak lagi ungkapan
dan julukan lainnya. Padahal kalau kembali pada masa rosul, seringnya
rosul dihina, diejek, diludahi bahkan hendak dibunuh, respon rosul malah
mendoakan اللهم اهدى قومي فإنهم لا يعلمون (rosul mah emang begitu
sifatnya...kata orang sunda). Gejala yang terus terasa semakin menuju
eskalasi mengerikan ini menjadikan surga sempit tidak seluas gambaran
Allah dalam kalamNya. Surga hanya akan dimasuki oleh sekelompok orang
yang tak pernah memandang orang lain bisa masuk ke dalamnya. Ya
sudahlah, silahkan anda masuk surga anda, saya akan masuk surga saya,
mereka masuk surga mereka, atau sepakat dengan Cak Nun, surga itu tidak
peting...silahkan anda memilih. Yang terpenting adalah سلمة الإنسان فى
حفظ اللسان (keselamatan seseorang terletak pada bagaimana menjaga lisan
atau mulut serta ucapannya).